Oleh: Ridho Imawan Hanafi
Partai-partai Islam baik yang secara azas dan ideologi maupun yang berbasis konstituen Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), diperkirakan oleh beberapa lembaga survei akan mengalami keterpurukan dalam Pemilu 2014. Popularitas dan elektabilitas mereka saat ini tertinggal dibanding dengan partai-partai yang berhaluan nasionalis.
Dalam survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dirilis 15 Oktober 2012, partai-partai Islam berada di bawah 5 persen. Partai-partai Islam tidak berhasil menembus angka lima besar urutan perolehan suara. Tren perolehan suara partai Islam memang tidak kian beranjak, bahkan mengalami penurunan. Jika ditarik ke belakang, sebelumnya Soegeng Sarjadi Syndicate pada 6 Juni 2012 merilis survei dengan hasil PKS memperoleh 6,9 persen, PPP (3 persen), PAN (2,2 persen), dan PKB (2 persen).
Demikian juga yang dilakukan oleh beberapa lembaga. Lembaga Survei Nasional (LSN), pada 26 Juni 2012 merilis PKS akan memperoleh sebesar 5,1 persen, PAN 3,8 persen, PPP 3,5 persen, PKB 3,3 persen. CSIS pada 8 Agustus 2012 juga merilis survei dengan menunjukkan elektabilitas empat partai Islam belum melampaui ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 3,5 persen. Empat parpol itu, PPP (3 persen), PKB (2,8 persen), PKS (2,2 persen), dan PAN (2 persen).
Hasil survei lain yang dirilis Charta Politika pada 30 Agustus 2012 menyebut hasil PKS sebesar 3,9 persen, PPP (2,7 persen), PKB (2,6 persen), PAN (1,9 persen). Kemudian survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis 14 Oktober 2012 menyatakan PKS memperoleh 3 persen, PKB (3 persen), PPP (3 persen), dan PAN (2 persen). LSN merilis kembali hasil surveinya pada 15 Oktober 2012 dengan mengabarkan bahwa PKS memperoleh 4,4 persen, PKB (2,8 persen), PAN (2,3 persen), dan PPP (2,2 persen).
Untuk posisi klasemen tiga besar rata-rata hasil survei dari beberapa lembaga akan ditempati oleh partai-partai seperti Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat, yang perolehan suara mereka melampaui 5 persen. Partai lain seperti Partai Gerindra dan Partai Nasdem memiliki kemampuan untuk membuntuti posisi ketiga partai itu.
Setidaknya ada beberapa hal yang mendorong kecilnya perolehan suara partai-partai Islam tersebut. Pertama, partai-partai Islam selama ini belum mampu menerjemahkan jati diri mereka sebagai partai Islam ke dalam level praksis. Ketidakmampuan ini membuat mereka tidak memiliki diferensiasi yang jelas dengan partai-partai yang tidak masuk dalam kategori partai Islam. Dengan kata lain, publik tidak bisa membedakan mana partai Islam dan yang bukan karena dalam praktik politiknya semuanya memiliki kemiripan. Pada partai Islam, antara simbol dan substansi politik seperti mengalami kesenjangan.
Kedua, partai-partai Islam tidak memiliki tokoh atau pemimpin yang bisa menjadi magnet elektoral. Dibandingkan dengan partai-partai nasionalis, tokoh-tokoh partai Islam kalah populer. Ketiadaan tokoh yang tidak saja bisa menjadi inspirasi bagi partai namun juga melebarkan pengaruhnya pada eksternal partai, membuat daya tarik partai juga tidak terangkat. Karena bagaimanapun figur dalam politik kepartaian Indonesia masih menjadi variabel yang penting dilihat.
Mencermati kemungkinan perolehan partai-partai Islam yang relatif kecil, kondisi seperti itu mengingatkan apa yang pernah dikatakan oleh Deliar Doer bahwa Islam memang mayoritas secara sosiologis, namun secara politik Islam adalah minoritas. Dengan kata lain, meskipun hampir 90 persen jumlah penduduk Indonesia merupakan pemeluk Islam, namun dalam realitas politik hampir selalu dalam posisi minoritas (Haris, 2011).
Oleh karena itu, hasil survei semestinya menjadi masukan dan bahan evaluasi, bukan justru dibantah secara emosional. Popularitas dan elektabilitas mereka saat ini memang merosot, namun masih ada waktu bagi partai-partai Islam memperbaiki keadaan. Dua tahun ke dapan menjadi pekerjaan serius, jika masih menginginkan partainya dilirik publik. Langkah yang perlu ditempuh salah satunya adalah melakukan revitalisasi ideologi, khususnya dalam hal bagaimana mengimplimentasikannya dalam program-program riil di masyarakat, sehingga Islam tidak hanya menjadi jargon dan simbol semata.
Tidak cukup itu, partai-partai Islam harus mulai berpikir bagaimana cara mereka bisa menampilkan figur popular mereka ke publik. Jika sejauh ini figur tersebut masih absen, yang diperlukan adalah bagaimana membangun sistem kaderisasi dan rekrutmen politik yang baik di internal partai. Tanpa melakukan pembenahan-pembenahan internal tersebut, Pemilu 2014 berpeluang menjadi lumbung keterpurukan partai-partai Islam.[ Soegeng Sarjadi Syndicate ]