Oleh: Jusuf Suroso
Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Nomor XI/MPR/1998 produk hukum generasi pertama era reformasi yang menyatakan, bahwa Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nefotisme (KKN) sebenarnya cukup jelas dan tegas. Rakyat melalui para wakilnya di MPR memerintahkan, mengamanatkan kepada Presiden dan para pejabat penyelenggara Negara lainnya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, kolusi dan nefotisme.
Sebagai tindak lanjut atas Ketetapan MPR tersebut lahirnya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Maksudnya, agar setiap penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nefotisme. Dan tiga tahun kemudian lahirlah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan ekstra luar biasa untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan atas tindak pidana korupsi. Ketika lembaga penegak hukum (Polri, Kejaksaan dan Kehakiman) dinilai mandul. Bahkan tidak sedikit diantara mereka terlibat atau menerima suap dari hasil korupsi.
Selain itu masih ada rambu-rambu lain agar para pejabat penyelenggara Negara jujur dan mengutamakan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi dan golongan, melalui sumpah dan janji sebelum ia memangku jabatannya. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, tindak pidana korupsi makin masif. Gerakan pemburu rente dan tindak pidana korupsi dilakukan secara masal menyentuh sendi-sendi pusat kekuasaan hingga ke daerah.
Menurut Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, dari tahun 2004 hingga Oktober 2012 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sudah menanda tangani izin pemeriksaan terhadap 176 pejabat penyelenggara Negara (Walikota/Bupati/Gubernur/Anggota DPR) dan pejabat setingkat itu. (Kompas, 28/9/2012). Jumlah ini belum termasuk pejabat eselon dibawahnya, Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terlibat.
Dari 176 pejabat penyelenggara Negara yang diduga melakukan tindak pidana itu ada yang masih dalam proses hukum, telah di vonis, sedang menjalani masa hukuman maupun yang sudah bebas. Bahkan, menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, 153 PNS pejabat eselon tertentu di daerah setelah menjalani hukuman dipekerjakan kembali (Kompas, 6/11/2012). Padahal, menurut Pasal 23 ayat (4) UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, masuk kategori pelanggaran disiplin berat terancam hukuman pemberhentian. Itu sebabnya, Mendagri mengeluarkan Surat Edaran dengan Nomor 800/4329/SJ tertanggal 29 Oktober 2012 yang melarang pengangkatan kembali pejabat struktural setelah menjalani hukuman terkait tindak pidana korupsi.
Kongkalikong
Boleh jadi pengangkatan kembali mantan terpidana kasus tindak pidana korupsi untuk menduduki jabatan struktural seperti itu patut diduga adanya kongkalikong pejabat bersangkutan dengan atasan mereka. Jikalau demikian, Walikota, Bupati atau Gubernur yang mengangkat pejabat koruptor perlu diselidiki dan diusut kembali, seberapa jauh keterlibatan dan dimana tanggungjawab mereka sebagai atasan terhadap bawahan yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Kongkalikong semacam ini bukan hanya terjadi di daerah tetapi sudah menjadi kebiasaan penyelenggara Negara di tingkat Kementerian, BUMN yang melibatkan Pengusaha, Anggota DPR dan elit politik negeri ini. Menurut Dipo Alam, didepan Sidang Kabinet Presiden SBY sering mengingatkan kepada para pembantunya terkait adanya kongkalikong itu. Bahkan menurut Menteri BUMN, Dahlan Iskan, sejumlah BUMN telah menjadi korban atau “sapi perah” oknum Anggota DPR-RI.
Sayang Dahlan Iskan hanya menuding oknum Anggota DPR yang diduga sering meminta bantuan kepada sejumlah Dirut BUMN. Sementara, kasus kurang lebih sama yang dilakukan pejabat penyelenggara Negara terkait BUMN bersangkutan tidak termasuk yang diungkap Dahlan Iskan. Padahal, yang menjadikan BUMN sebagai “sapi perah”, bukan monopoli Anggota DPR tetapi juga kolega Dahlan Iskan sendiri di Kabinet, dilingkungan Istana (Sekretariat Negara maupun Sekretariat Kabinet), para auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) maupun BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan).
Apabila kita mencermati berbagai kasus tindak pidana korupsi, suap, upeti, uang jasa, komisi, fee sampai permintaan bantuan, fasilitas dan proyek oleh para pejabat penyelenggara, rasanya tidak ada kegiatan penyelenggaraan Negara ini yang bebas dari tindak pidana korupsi, kolusi dan nefotisme seperti amanat Tap MPR Nomor XI/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nefotisme. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah berubah menjadi Negara Koruptor Republik Indonesia. [ Soegeng Sarjadi Syndicate ]
Sebagai tindak lanjut atas Ketetapan MPR tersebut lahirnya UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Maksudnya, agar setiap penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nefotisme. Dan tiga tahun kemudian lahirlah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai lembaga independen yang memiliki kewenangan ekstra luar biasa untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan atas tindak pidana korupsi. Ketika lembaga penegak hukum (Polri, Kejaksaan dan Kehakiman) dinilai mandul. Bahkan tidak sedikit diantara mereka terlibat atau menerima suap dari hasil korupsi.
Selain itu masih ada rambu-rambu lain agar para pejabat penyelenggara Negara jujur dan mengutamakan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi dan golongan, melalui sumpah dan janji sebelum ia memangku jabatannya. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, tindak pidana korupsi makin masif. Gerakan pemburu rente dan tindak pidana korupsi dilakukan secara masal menyentuh sendi-sendi pusat kekuasaan hingga ke daerah.
Menurut Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, dari tahun 2004 hingga Oktober 2012 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sudah menanda tangani izin pemeriksaan terhadap 176 pejabat penyelenggara Negara (Walikota/Bupati/Gubernur/Anggota DPR) dan pejabat setingkat itu. (Kompas, 28/9/2012). Jumlah ini belum termasuk pejabat eselon dibawahnya, Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terlibat.
Dari 176 pejabat penyelenggara Negara yang diduga melakukan tindak pidana itu ada yang masih dalam proses hukum, telah di vonis, sedang menjalani masa hukuman maupun yang sudah bebas. Bahkan, menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, 153 PNS pejabat eselon tertentu di daerah setelah menjalani hukuman dipekerjakan kembali (Kompas, 6/11/2012). Padahal, menurut Pasal 23 ayat (4) UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, masuk kategori pelanggaran disiplin berat terancam hukuman pemberhentian. Itu sebabnya, Mendagri mengeluarkan Surat Edaran dengan Nomor 800/4329/SJ tertanggal 29 Oktober 2012 yang melarang pengangkatan kembali pejabat struktural setelah menjalani hukuman terkait tindak pidana korupsi.
Kongkalikong
Boleh jadi pengangkatan kembali mantan terpidana kasus tindak pidana korupsi untuk menduduki jabatan struktural seperti itu patut diduga adanya kongkalikong pejabat bersangkutan dengan atasan mereka. Jikalau demikian, Walikota, Bupati atau Gubernur yang mengangkat pejabat koruptor perlu diselidiki dan diusut kembali, seberapa jauh keterlibatan dan dimana tanggungjawab mereka sebagai atasan terhadap bawahan yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Kongkalikong semacam ini bukan hanya terjadi di daerah tetapi sudah menjadi kebiasaan penyelenggara Negara di tingkat Kementerian, BUMN yang melibatkan Pengusaha, Anggota DPR dan elit politik negeri ini. Menurut Dipo Alam, didepan Sidang Kabinet Presiden SBY sering mengingatkan kepada para pembantunya terkait adanya kongkalikong itu. Bahkan menurut Menteri BUMN, Dahlan Iskan, sejumlah BUMN telah menjadi korban atau “sapi perah” oknum Anggota DPR-RI.
Sayang Dahlan Iskan hanya menuding oknum Anggota DPR yang diduga sering meminta bantuan kepada sejumlah Dirut BUMN. Sementara, kasus kurang lebih sama yang dilakukan pejabat penyelenggara Negara terkait BUMN bersangkutan tidak termasuk yang diungkap Dahlan Iskan. Padahal, yang menjadikan BUMN sebagai “sapi perah”, bukan monopoli Anggota DPR tetapi juga kolega Dahlan Iskan sendiri di Kabinet, dilingkungan Istana (Sekretariat Negara maupun Sekretariat Kabinet), para auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) maupun BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan).
Apabila kita mencermati berbagai kasus tindak pidana korupsi, suap, upeti, uang jasa, komisi, fee sampai permintaan bantuan, fasilitas dan proyek oleh para pejabat penyelenggara, rasanya tidak ada kegiatan penyelenggaraan Negara ini yang bebas dari tindak pidana korupsi, kolusi dan nefotisme seperti amanat Tap MPR Nomor XI/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nefotisme. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah berubah menjadi Negara Koruptor Republik Indonesia. [ Soegeng Sarjadi Syndicate ]