Oleh: Samsul Nizar
Negara demokrasi sangat didambakan oleh setiap orang. Sebab, kekuasaan ada di tangan rakyat.
Dengan keberhasilannya menerapkan demokrasi, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang dipandang berhasil menerapkan demokrasi.
Dalam tataran ideal, konsep demokrasi dianggap lebih representatif bagi perkembangan dunia modern karena rakyat berada dalam posisi aktif untuk ikut menentukan arah pembangunan negara.
Asas demokrasi yang dianut Indonesia acapkali menjadi rujukan dan acungan jempol bagi banyak negara. Meski demikian, cost yang dikeluarkan untuk melaksanakan demokrasi tidaklah sedikit.
Bayangkan cost yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan demokrasi mulai pemilihan presiden, DPR/DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota. T
ak sedikit belanja yang harus dikeluarkan. Secara ekonomi, pengeluaran yang demikian besar tidak menjadi masalah tatkala hasil yang diperoleh sebanding atau lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, yaitu kesejahteraan rakyat.
Namun, tatkala biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dibanding hasil yang diperoleh, maka perlu ditinjau ulang kembali.
Paling tidak ada dua aspek yang harus dipertimbangkan, yaitu, Pertama, kecerdasan masyarakat dalam menerima dan melaksanan demokrasi. Masyarakat perlu dicerdaskan agar demokrasi berjalan secara ideal.
Jika tidak, maka masyarakat akan dipermainkan oleh lembaran amplop yang membeli masa depan yang suram.
Kedua, sistem pelaksanaan demokrasi perlu dirancang agar cost yang dikeluarkan tidak membengkak, tapi prinsip demokrasi tercapai secara maksimal. Sebab, tak semua masalah bisa menerapkan demokrasi.
Tatkala demokrasi tidak dipahami dan dilaksanakan secara bijak dengan aturan yang jelas, maka demokrasi hanya sebatas pakaian yang menjadi pembungkus liberalism.
Demokrasi bersifat terbuka (sistem dan hukum), menjunjung tinggi kebersamaan, meletakkan sesuatu berdasarkan kemampuan (profesionalisme). Tujuannya adalah tercapainya kemakmuran bersama secara adil dan merata.
Jabatan bukan pekerjaan, akan tetapi pengabdian. Sebuah kata bijak perlu menjadi bahan pemikiran kita bahwa “jangan cari orang yang tak berkerja, tapi carilah orang yang tak butuh kerja”.
Sebab, tatkala yang memimpin adalah orang yang mencari kerja, maka yang dilakukan adalah menumpuk harta dan memanfaatkan fasilitas bagi kepentingan diri. Tatkala kenikmatan itu diperoleh, maka akan ada upaya mengekalkan posisi diri karena keasyikan dengan nikmat yang diperoleh.
Paradigma ini akan membangun sebuah kekuatan liberalism dan feodalism yang berupaya mengekalkan kekuasaan dengan mempersiapkan pengganti yang memiliki kesamaan visi dengan pendahulunya.
Upaya ini dilakukan agar penerusnya dapat “menyelamatkan” kesalahan pendahulunya.
Bangunan yang demikian akan melahirkan sistem kerajaan yang akan mempersiapkan “putra mahkota” dan mengenyampingkan profesionalisme.
Demokrasi yang dilakukan hanya sebatas pembenaran atas tindakan yang salah menjadi seakan-akan inilah kebenaran. Sebab, praktik demokrasi hanya meletakkan suara terbanyak, bukan kebenaran.
Meski idealnya mayoritas bisa membawa kebenaran, namun saat ini mayoritas belum tentu benar.
Akan tetapi, tatkala seorang pemimpin adalah orang yang tak butuh kerja karena secara financial ia telah memiliki semuanya, maka jabatan akan digunakan untuk memakmurkan masyarakat.
Sebab, baginya apa yang difasilitasi oleh jabatannya sudah ia miliki sebelum jabatan tersebut ia peroleh. Aktivitas dan amanah jabatan yang disandang akan sepenuhnya digunakan untuk kemashlahatan rakyat.
Ia tidak akan berupaya mempersiapkan “putra mahkota” karena kepentingan, akan tetapi karena amanah dan profesionalitas yang dapat membawa negeri ini kepada kesejukan dan kedamaian yang berkeadilan.
Agaknya, bila para pahlawan negeri ini melihat apa yang dipraktikkan oleh segelintir generasinya yang menjadikan demokrasi sebagai make up untuk menutupi liberalism dan feudalism, maka mereka akan menangis dan kecewa.
Cucuran keringat, deraian air mata, darah yang bersimbah menyiram bumi, dan nyawa yang mereka ikhlaskan untuk negeri ini ternyata sebuah kesia-siaan karena tak pernah dihargai.
Para pahlawan kita tak pernah pamrih. Mereka melakukan perjuangan bukan untuk dibayar. Tapi mereka menitipkan negara ini agar dibangun secara arif, bijaksana, dan berkeadilan.
Sayangnya kisah mereka raib entah kemana, tak dikenal oleh generasi muda. Apa yang telah mereka lakukan sirna. Bahkan, masih ada segelintir para pahlawan yang masih hidup saat ini tak dapat menikmati apa yang seharusnya mereka nikmati.
Padahal, Bung Karno pernah berpesan “negara yang besar adalah negara yang menghargai jasa para pendahulunya (pahlawannya)”.
Meski setiap tahun peringatan hari pahlawan dilakukan, ternyata masih diwarnai jeritan pilu anak bangsa, mulai akibat jeratan ekonomi, ketidak adilan, kebodohan, kesenjangan sosial, supremasi hukum yang belum maksimal, dan persoalan lainnya.
Kepahlawanan hari ini bukan menjadi ratu adil, akan tetapi bagaimana kita makna pahlawan menjadi gerak diri yang hidup dalam pribadi setiap orang. Kepahlawanan yang demikian ini akan mampu membuat “rakyat kecil” berkepribadian besar yang mampu mengatasi kelemahan pemimpin besar yang berkepribadian kecil.
Tatkala kita masih bangga dan melestarikan makna kemerdekaan dan asas demokrasi yang disalah artikan, maka pada gilirannya kita akan dinilai oleh generasi yang akan datang tanpa penghargaan, sebagaimana kita tidak menghargai jasa pahlawan. Hal ini merupakan sunnatullah.
Semua kita perlu berpikir ulang dengan pemikiran jernih. Bertanya pada hati, karena hati tak pernah berbohong. Pilihan selalu masih ada, tinggal kita mau memilih yang mana.
Wa Allahua’lam bi al-shawwab.***
*Samsul Nizar, Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Suska Riau, dan Ketua STAI al-Kautsar Bengkalis.