Oleh Aulia Agus Iswar
Amerika liberal. Rusia dan China komunis. Indonesia Pancasilais. Sematan-sematan seperti itulah yg dianggap sebagai ideologi. Lalu apa itu ideologi?
Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, secara umum dan beberapa arah filosofis, atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. (Wikipedia)
Banyak sekali pakar yg mendefinisikan ideologi. Tapi dapat kita simpulkan, seperti sumber Wikipedia tadi, bahwa ideologi adalah sesuatu pemahaman dan pemikiran yg komprehensif yg mendasari segala tindakan hidup kita.
Ideologi yg paling berkembang saat ini adalah demokrasi, yaitu bentuk turunan liberalisme dalam ranah politik. Turunan liberalisme dalam ranah ekonomi dinamakan kapitalisme. Sedangkan ideologi yg menjadi antitesisnya adalah Marxisme yg kemudian melahirkan Komunisme dan Sosialisme dalam ranah politik dan ekonomi.
Ideologi-ideologi tadi adalah produk peradaban Eropa yg lahir setelah Renaissance, Revolusi Perancis dan Revolusi Industri (tahun 1700an) di Inggris. Karena masyarakat Eropa marah terhadap tatanan Gereja atas kondisi sosial pada saat itu, maka lahirlah ideologi liberalisme (demokrasi dan kapitalisme), Marxisme, Sosialisme, Individualisme, Nasionalisme, dst.
Jika pada masa kegelapan (masa Gereja) tatanan bersifat teosentris, maka setelah Renaissance dan Revolusi Industri tatanan bersifat anthroposentris. Revolusi-revolusi inilah yg melahirkan imperialisme Eropa ke berbagai negara di Asia dan Afrika.
Lalu, ideologi liberalisme tadi diadopsi dan dibawa oleh orang-orang Inggris yg \"hijrah\" ke benua Amerika karena tidak bisa hidup "bebas" di Eropa.
Mereka mendirikan negara Amerika. Hingga meletuslah Perang Dunia I dan II. Perang Dunia II dimenangkan oleh Amerika. Sedangkan ideologi Marxisme lebih diadopsi oleh negara-negara Eropa Timur termasuk Uni Sovyet dan China.
Sebagai pemenang PD II, Amerika telah berhasil membuka pasar. Mereka \"jualan\" demokrasi ke mana pun. Pada bidang ekonomi, pada tahun 1929, Amerika mengalami great depression, dengan berpedoman pada ekonomi aliran Klasik.
Sebagai antitesisnya, kemudian aliran ekonomi yg diterapkan adalah Keynesian. Lalu direvisilah aliran ekonomi tersebut menjadi Neoklasik. Yg kemudian terevisi kembali menjadi neoliberalisme yg ditandai dengan munculnya Tatcherisme di Inggris dan Reaganisme di Amerika sekitar tahun 1980an.
Gelombang demokrasi cukup besar dan menyebar ke mana-mana. Sekarang pun ada gelombang sintesisnya, yaitu sosial demokrat di Eropa dan di negara-negara Amerika Selatan.
Aliran ini, menurut Anthony Giddens dalam "The Third Way", disebut New Left (kiri baru), sebagai jalan ke-3 setelah jalan sosialisme dan jalan demokrasi. Bahkan pemerintah China masa Deng Xiao Ping pun pada tahun 1979 menerapkan kebijakan keterbukaan Gaige Kaifang, yaitu sistem politik komunis, tapi sistem ekonomi kapitalis.
Hasilnya, seperti disebutkan David Harvey dalam "Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis", China mampu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan yg tiada bandingnya dalam sejarah manusia.
Soviet pun mengadaptasi demokrasi dalam bentuk Perestroika sebagai perlawanan terhadap terpuruknya kondisi sosial ekonomi di Uni Soviet kala itu (Gorbachev, Mikhail. "Perestroika, new thinking for our country and the world").
Demokrasi dan Kapitalisme: Tatanan Terakhir?
Demokrasi dan kapitalisme menjadi angin segar di mana-mana. Negara-negara yang tadinya miskin dan terbelakang, setelah mengadopsi demokrasi dan kapitalisme, menjadi berkembang.
Johan Norberg dalam "In Defence of Global Capitalism" menjelaskan: "Pada saat ini hampir 60 orang sedang terangkat dari kemiskinan absolut mereka, setiap menit sepanjang hari.... Dalam waktu 25 tahun ke depan, standar hidup masyarakat di negara berkembang yg berukuran besar akan setara dengan standar hidup masyarakat Eropa...."
Michael Backman dalam "Asia Future Shock" lebih konkret mengutarakan contoh negara Korea yg terbagi menjadi Korea Selatan dan Korea Utara. Korea Utara yg menganut komunisme menjadi negara yg terbelakang; Pyongyang seperti kota korban perang. Sebaliknya, Korea Selatan yg menganut demokrasi justeru menjadi negara maju.
Memang demokrasi memiliki efek positif bagi negara-negara. Tapi hal tersebut tidak bisa menegasikan ketimpangan yg besar antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Joseph Stiglitz dalam "Making Globalization Work" menyatakan bahwa kemiskinan di negara-negara berkembang meningkat.
40% dari 6.5 milyar penduduk dunia hidup dalam kemiskinan, seperenamnya hidup dalam kondisi sangat miskin. Afrika adalah negara yg kondisinya paling parah, di mana penduduk dengan kategori sangat miskin meningkat jumlahnya dari 41.6% menjadi 46.9% dalam kurun waktu 1981-2001.
Lalu pertanyaannya sekarang, apakah ideologi liberalisme (kapitalisme dan demokrasi) akan menjadi solusi bagi permasalahan global? Jika sejarah dan peradaban ideologi adalah sebuah proses pencarian tatanan, apakah tatanan liberalisme menjadi ideologi final dan klimaks dalam sejarah kejayaan global?
Francis Fukuyama dalam "The End of History and the Last Man" meyakini bahwa demokrasi liberal adalah sistem dan ideologi final dan terbaik dalam sejarah peradaban manusia. Artinya, setelah ini tidak ada lagi corak ideologi yg akan hidup kecuali liberalisme, yaitu politik demokrasi dan ekonomi kapital.
Untuk menjawab itu, mari kita telaah. Demokrasi tidak bisa terlepas dari yg namanya nasionalisme. Ideologi nasionalisme dimulai pada kuartal terakhir abad XVIII dan menyebar di Amerika dan Eropa, khususnya pada masa revolusi.
Pada sepertiga terakhir abad XIX terjadilah nasionalisme gelombang kedua yg menyebar ke Eropa Timur dan Utara. Selanjutnya dekade awal dan pertengahan abad XX nasionalisme telah melanda Asia, Afrika, dst. (Smith, Anthony D. "Nationalism : Theory, Ideology and History").
Hasilnya kini penduduk dunia tersegregasi ke dalam negara-negara bangsa (nation state). Masing-masing memiliki otonomi penuh untuk mengelola negaranya sendiri. Namun kini eksistensi negara bangsa terancam. Negara bangsa tidak bisa memungkiri keharusan bergaul dengan dunia global.
Dengan kemajuan teknologi yg sangat pesat, negara-negara kini telah terhubung dalam sebuah global village yg imajiner. Seolah-olah sekat negara sudah tidak terlalu menjadi penghalang; the borderless world.
Kenichi Ohmae bahkan menggambarkannya ke dalam bentuk ekstrem sebagai "the end of the nation state", sebagai bangkitnya ekonomi regional/kawasan. Ken mengetengahkan contoh terbentuknya ekonomi kawasan seperti Uni Eropa, OPEC, ASEAN, NATO, G-70, dst. Nasionalisme jadi terancam di sini.
Kapitalisme berakar dari ajaran Protestan. Max Weber menjelaskan dalam "The Protestant ethic and the spirit of Capitalism" bahwa sebetulnya tidak ada pertentangan antara Protestanisme dan kapitalisme, bahkan Protestanismelah yg melahirkan kapitalisme.
Lalu bagaimana dengan corak kapitalisme yg terus-menerus berganti dari Klasik ke Keynes, lalu ke Neoklasik/Neoliberalisme? Kini pun Neoklasik dianggap gagal dalam mensejahterakan seluruh penduduk dunia secara adil dan merata. Karena itu lahir sebuah pemikiran baru dalam dunia Kapitalisme, yaitu ekonomi kelembagaan.
Krisis demi krisis terus terjadi, karena ada bubble of economics. Sistem ekonomi kapitalisme seperti menunggu kehancurannya. Bahkan implikasi krisis ini juga berefek secara luas yg digambarkan oleh Francise Fukuyama sebagai "The great disruption" bahwa sekarang problem-problem sosial politik juga melanda Barat dalam stadiumnya yg kritis.
Bahkan salah seorang pelaku kapitalisme, George Soros, dalam bukunya "The crisis of global capitalism : open society endangered", juga mengkritik kapitalisme itu sendiri. Soros menegaskan bahwa krisis-krisis yg terjadi dewasa ini adalah karena teori ekonomi yg tidak tepat. Teori ekonomi menenekankan pada titik ekuilibrium, padahal ekuilibrium tidak pernah terjadi dalam dunia nyata.
Kekuasaan dan Sumber Daya
Sejarah peradaban manusia adalah sejarah perebutan kekuasaan untuk memiliki sumber daya-sumber daya. Setidaknya ada 3 sumber daya di sini, yaitu sumber daya energi, pasar dan manusia. Inilah yg menjadi target perebutan.
Apalagi pondasi ilmu ekonomi kapitalis telah menegaskan bahwa sumber daya alam dan energi sangatlah terbatas dan tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia. Maka yg terjadi adalah free fight liberalism; homo homini lupus; yg kuat memangsa yg lemah.
Padahal, kata Mahatma Gandi, sumber daya yg ada di bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, tapi tidak untuk keserakahan mereka.
Amerika yg kini berkuasa, telah menancapkan kuku-kukunya di negara-negara "jajahannya". Jika suatu negara telah memenangi peperangan, maka pada hakikatnya ia telah berhasil membuka pasar ekonomi.
Maka kita lihat sekarang, apa saja yg berbau Amerika pasti laku dijual. Dan Amerika akan terus mengeksploitasi sumber daya energi dan manusia demi kemajuan peradabannya.
Minyak dan nuklir menjadi 2 kata seksi bagi Amerika. Di mana ada minyak, di situ Amerika akan mengejar. Konflik di Timur Tengah merefleksikan hal ini. Bahkan negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadi "korban" akan hal ini.
Betapa tidak, kualitas minyak bumi Indonesia adalah terbaik di seluruh dunia. Namun minyak tersebut dijual ke Amerika, bangsa Indonesia sendiri tidak mencicipinya, malah mengimpor minyak dari Afrika dan Timur Tengah yg kualitas minyak buminya lebih rendah dengan harga juga lebih murah.
Selain minyak, sumber daya manusia juga menjadi "rebutan". Beberapa MNC (multi national corporation) membuka pabriknya di Indonesia, karena upah buruh di sini rendah.
Kita tentu ingat pabrik Nike di sini; sepatu Nike yg dipakai oleh orang-orang Eropa termasuk atlet-atlet mereka adalah sepatu buatan Indonesia. Bahkan fashion-fashion bermerek dunia pun beberapa dibuat di Indonesia.
Meneropong Peradaban
Jika pada beberapa dekade ini, liberalisme dengan segala praktiknya seperti demokrasi dan kapitalisme dianggap terancam, maka bagaimana nasib peradaban masa depan?
Alvin Toffler dalam bukunya "The Third Wave" membagi periodisasi peradaban ke dalam 3 gelombang, yaitu masa agricultural revolution, industrial revolution, dan high speed revolution (zaman informasi).
Masa agrikultur ditandai dengan kehidupan manusia yg bertumpu pada cocok tanam/pertanian. Lalu setelah Revolusi Industri, kehidupan manusia bertumpu kepada industri.
Dan abad XX ini adalah masa gelombang ketiga, masa di mana dunia sudah saling terhubung dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi (information & communication technology). Dinamika dan perubahan terjadi sangat cepat.
Thomas L. Friedman juga mendukung pendapat Toffler. Dalam bukunya \"The World is Flat\", Friedman menjabarkan bahwa abad XXI adalah abad di mana dunia ini seperti datar, karena semua manusia mudah sekali terhubung dan berkomunikasi meskipun jarak ribuan kilometer dan benua serta samudera memisahkan mereka.
Sebuah gambaran bahwa manusia saling membutuhkan dan tidak dapat disekat-sekat oleh batas demarkasi bernama negara. Inilah yg diistilahkan dengan global village, yg punya slogan baru "mendekatkan yg jauh, menjauhkan yg dekat".
Lebih jauh, David C. Korten dalam bukunya \"The post-corporate world : life after capitalism", mengetengahkan sebuah pandangan bahwa kita harus ke luar dari kapitalisme dan memulai sebuah kehidupan baru yg lebih adil bagi semua.
Masa kapitalisme sudah lewat, kini kita akan memasuki sebuah masa yg lebih harmonis, manusiawi dan adil bagi semua. Memang pada masa kapitalisme yg dirajai oleh Barat (Amerika & Eropa), kehidupan teramat kejam. 5% penduduk dunia menguasai 90% dari total uang di seluruh dunia, sedangkan 95% penduduk memperebutkan 10% uang sisanya. Kesenjangan yg luar biasa.
Namun, banyak pakar yg memprediksi bahwa pendulum kekuasaan peradaban itu akan dan (mungkin) telah bergeser dari Barat ke Timur. Kishore Mahbubani misalnya, dalam "The new Asian hemisphere : the irresistible shift of global power to the East", mengatakan bahwa dalam sejarah dunia, Timur (Orang China, India, Muslim, dan lainnya) menjadi pengikut.
Tapi kini mereka telah siap sebagai motor. Timur akhirnya memahami dan menyerap contoh-contoh terbaik dari Barat seperti ekonomi pasar bebas, meritokrasi dan aturan hukum. Dan mereka juga menjadi inovatif, membuat pola baru yg tidak ditemukan di Barat.
Sepertinya, ideologi-ideologi di Timur didasari oleh sebuah falsafah dan nilai budaya luhur yg tidak dimiliki Barat. Di China misalnya, falsafah China mengajarkan kebudayaan yg sangat menghormati leluhur dan keluarga. Aspek moral dan ketuhanan sangat ditekankan di sini. Demikian juga dengan orang-orang India dan Muslim.
Meskipun demikian, beberapa pakar juga memprediksi bahwa kemajuan China saat ini bak bara dalam sekam. China nanti, cepat atau lambat, akan mengalami kemunduran dan kehancuran, karena akibat penerapan kapitalisme di China, industri di desa-desa maju mengakibatkan dunia pertanian terancam.
Terjadi gelombang urbanisasi, penduduk yg tadinya hidup dari pertanian akhirnya migrasi mengadu nasib ke kota. Pengangguran meningkat. Artinya, kesenjangan hidup semakin lebar antara "the have" & " the have not\". John Naisbitt dalam "Mindset" juga memprediksikan bahwa kemajuan China saat ini menyimpan bahaya.
Lalu bagaimana tatanan dunia masa depan? Apakah seperti yg diprediksikan oleh Samuel Huntington dalam bukunya "Clash of civilizations", yaitu terjadinya benturan antara peradaban Barat, China, India, Islam, dst?
Tatanan seperti apa nantinya akan sangat ditentukan oleh kondisi global 20 tahun ke depan. James Canton dalam bukunya "The extreme future" mengurai 10 tren utama yg akan mempengaruhi dunia 20 tahun ke depan. 10 tren tersebut yaitu:
- Menyalakan masa depan : krisis energi, masa depan pasca minyak, energi alternatif
- Inovasi ekonomi
- Kekuatan buruh masa depan
- Memperpanjang usia dalam ilmu medis dengan teknologi nano, neuo dan genomics.
- Sains
- Keamanan masa depan : kriminalitas, terorisme, dst.
- Globalisasi dan benturan kebudayaan
- Perubahan iklim
- Kebebasan individu
- Amerika dan China
George Soros juga memberikan solusi dengan "open society" nya. Dengan mengurai teori open society dari Karl Popper, Soros menjelaskan bahwa masyarakat ke depan harus saling terbuka. Eksklusivitas bukanlah sikap yg sejalan dengan kemajuan. China dan Uni Soviet telah mempraktikkan open society ini.
Menurut penulis, tatanan dunia masa depan akan dibentuk oleh konvergensi dua spirit peradaban, Barat dan Timur. Barat, seperti telah diuraikan di atas, menguasai peradaban dengan ideologi-ideologi bentukannya; liberalisme (demokrasi dan kapitalisme).
Bahkan ideologi Marxisme, sosialisme dan komunisme yg berkembang di dunia Timur juga berasal dari Barat saat Revolusi Industri. Ideologi liberalismelah yg mendasari penemuan dan kemajuan IPTEK di Barat. Dengan bekal ini, Barat menguasai peradaban dunia.
Di sisi lain, dunia Timur yg memiliki falsafah budaya luhur, diam-diam "insyaf" dari ideologi sosialisme dan komunismenya. Timur mengadopsi kemajuan Barat dari segi politik (demokrasi), ekonomi (kapitalisme) dan IPTEK.
Timur sedang berusaha untuk mengkonvergensikan itu semua dengan falsafah budaya luhur mereka. Konvergensi inilah yg akan menghasilkan peradaban yg menakjubkan, yg belum terjadi di dunia Barat sekalipun.
Siapa saja yg bisa mengkonvergensikan kemajuan Bara t dengan falsafah budaya luhur dunia Timur, dialah yg akan mampu membentuk tatanan dunia masa depan. Dialah yg akan menjadi pemimpin peradaban masa depan.
Salah satu syarat untuk menjadi pemimpin peradaban itu adalah keharusan memiliki sebuah ideologi yg komprehensif yg mampu mengakomodasi dan mengkonvergensikan semua hal positif yg ada di Barat dan Timur. Yaitu sebuah peradaban yg maju dalam hal IPTEK dengan nilai falsafah dan budaya luhur sebagai ideologinya.
*Penulis adalah Tenaga Ahli Komisi X DPR RI
Aulia Agus Iswar
Jl. Penggalang IV Jakarta Timur
xiao_x54@yahoo.com
087780008548